Search This Blog

Thursday, December 31, 2020

Project Bike; Jupiter-Z 2004 BRT I-Max Installation Part-1: Timing Map Calculation

Orang-orang banyak yang bilang ke saya; kenapa saya tetap maintenance Jupiter-2004 ini, kenapa saya tetap memaksakan motor tua ini, kenapa ga beli baru aja dan sebagainya. So guys, tuning is addicting plus maintenance, plus restorasi... it’s way more addicting. Motor ini relatif aman dari tindak kriminal, tampang sudah tua ya kan? Tapi potensi performanya masih ada, ditambah saya lumaya mengetahui tentang motor, bisa saja mungkin beli motor bebek biasa atau matic baru tetapi tetap saja “Value for money” nya masih kalah dengan merawat atau tuning motor ini sekalipun.

So semuanya berawal dari tuning mesin motor ini setahap demi setahap (https://9-engineering.blogspot.com/2020/05/project-bike-yamaha-jupiter-z-2004-saat.html) yang... baru kesampaian saat saya kerja bukan pas saya pakai saat sekolah dulu (modalnya belum cukup haha). Setelah bore up dan saya lakukan perhitungan secara teoritis, saya membutuhkan CDI dengan kemampuan programmable limiter mesin dan saya akan men-set limiter di 11.000rpm.

 
Parameter pertama adalah piston speed. Piston speed merupakan kecepatan piston bergerak pada silinder satu putaran poros engkol atau dua kali stroke. Adapun produsen piston juga telah menyertakan piston speed max yang dapat diterima oleh piston, tetapi karena produk paket bore up Moto1 yang saya pakai tidak menyertakan angka tersebut maka saya menggunakan tabel referensi di atas sebagai acuanya. Saya menentukan besaran piston speed max untuk motor Jupiter-Z saya sebesar 20 m/sec. Kenapa tidak lebih tinggi karena saya memiliki beberapa asumsi, pertama; akan saya pakai harian yang mana hanya digunakan maksimum pada kecepatan rendah atau tinggi sesekali waktu saja, maka rentang yang dipakai adalah high sped di kisaran 20~25 m/sec. Lalu kedua adalah faktor lainya pada mesin saya seperti per klep masih std yang saya anggap cukup riskan jika saya paksa dengan putaran mesin hingga 13.000rpm, maka dikarenakan harian saya masih perlu ambang batas aman untuk durability mesin, maka saya anggap 20m/sec menghasilkan batasan rpm yang cukup untuk meraih kecepatan atau tenaga sekaligus aman untuk mesin.
 
Sampai di sini juga perlu saya sampaikan kenapa mengambil parameter berdasarkan asumsi dan referensi. Nah begini; idealnya... saya juga harus melakukan perhitungan yang tepat didasari dengan pengukuran data aktual melalui beberapa alat ukur yang valid yang sayangnya saya belum mempunyai itu. Seperti contoh flow bench meter, pressure gauge, beberapa stand dan jig untuk mensimulasi ketahanan komponen, dll. Nah di tengah keterbatasan ini referensi dari data yang sudah ada (untuk kasus ini saya ambil dari Wikipedia) juga dapat dilakukan untuk melakukan pendekatan se-optimal mungkin ke kondisi kita. 
 

Cara menghitung Piston speed ada di rumus di atas.
 

Maka untuk menghitung max rpm yang dapat digunakan menggunakan rumus di atas. 
 

Berdasarkan rumus di atas diketahui Piston Speed max yang akan saya pakai adalah 20m/sec dan stroke motor adalah 54mm. Setelah dihitung maka rpm max mesin adalah 11.111,11 rpm, saya bulatkan ke bawah menjadi 11.000 rpm. 
 
Pekerjaan selanjutnya adalah memilih CDI, setelah survey CDI yang paling cocok dengan apa yang saya butuhkan adalah CDI BRT Smart Click, akan tetapi kebetulan saya pribadi susah menemukan produk ini haha. Alhasil terpaksa upgrade yang tipe jauh lebih tinggi; I-max 24-step. So, singkat cerita saya beli, di dalamnya kita sudah mendapatkan CDI Unit tentunya, remote, kabel aktivasi dual band, buku panduan, tabel mapping dan rekomendasi map untuk motor Jupiter-Z 
 

CDI BRT memiliki ketelitian untuk setting rpm per 100rpm dengan rpm inisiasi di 2100rpm, ketelitian derajat pengapian hingga 0.5 derajat per-click nya dan dapat menyimpan 16 mapping + 1 mapping dual band. Fitur Dual Band menjadi sedikit luas aplikasinya karena selain dapat mengganti karakter pengapian di tengah pemakaian (on the go) dengan mengaktifkan dual band juga bisa digunakan sebagai launch control, shifting map aga rpm tidak terlalu drop, dsb. Tapi untuk hal ini karena saya masih dipakai harian, terlebih tidak memasang kopling manual, maka penggunaan satu mapping saja dengan tipe CDI ini sudah lebih dari cukup.
 
Diagram di atas adalah rekomendasi mapping untuk Jupiter-Z dari BRT dengan data komparasi menggunakan unit standard dan bahan bakar premium. Klaim dari BRT tenaga meningkat 0.42HP atau 6% dari standard-nya (std 7.34 HP, I-Max 7.76 HP). Tapi di sini saya tidak plek menggunakan mapping ini, saya akan menggunakan mapping saya sendiri dengan mengadaptasi referensi dari BRT tersebut, nah batasan-batasanya akan saya jelaskan ketika akan merumuskan mapping pengapian. 
 
Sekilas dengan menentukan timing pengapian; timing pengapian idealnya ditentukan menggunakan dynotester dengan mencari tenaga yang paling tinggi. Timing pengapian dipengaruhi banyak hal, mulai dari suhu kerja, suhu dan atau tekanan bahan bakar serta udara yang masuk, air to fuel ratio, tekanan atau rasio kompresi, dsb. Maka sekali lagi untuk menyederhanakan perhitungan tersebut di level rumahan atau DIY maka dapat dilakukan langkah-langkah pendekatan dengan refernsi, perhitungan dan beberapa asumsi dan komparasi. 
 

Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan di step berapa saja rpm yang akan di setting timing-nya. Di atas adalah cara untuk menentukan step dan rpm yang akan di setting. Initial rpm bebas mulai dari kapan saja tetapi saya mulai dari 2.100 rpm karena motor harian lalu berakhir di 13.600 rpm bukan di 11.000 rpm, sebenarnya ini juga bebas tapi saya memilih sampai 13.600 dan selisih atau increment rpm nya sama agar linear timing dan progress tenaga yang dihasilkan motor (asumsi). 
 

Langkah selanjutnya adalah melakukan pendekatan waktu pembakaran untuk membantu menentukan alogaritma mapping timing pengapian. t adalah waktu busi memercikkan api sebelum piston berada di TMA dalam satuan detik. Nah seperti yang dijelaskan tadi bahwa timing pengapian juga berpengaruh pada tekanan kompresi, banyaknya campuran bahan bakar-udara yang masuk serta jenis oktan bahan bakar, maksudnya begini; pada saat langkah kompresi busi membutuhkan waktu seper-sekian detik untuk membakar campuran tadi yang waktunya dipengaruhi oleh banyaknya “air to fuel ratio”, jenis bahan bakar dan tekanan kompresi mesinya. Jika terlalu cepat atau waktu “t” telalu lama dari TMA maka kemungkinan untuk terjadi detonasi yang dapat merusak komponen mesin juga menjadi besar, walau memajukan timing pengapian juga dapat meningkatkan performa mesin di putaran menengah sampai atas. Derajat pengapian yang terlalu mundur atau waktu “t” lebih sebentar dari TMA juga dapat menimbulkan resiko detonasi,  maka di sinilah mekanik atau tuner dituntut untuk dapat memanfaatkan “area aman” tersebut untuk mengail tenaga secara optimal. 
 

Nah sisa stroke adalah total stroke dikurangi dari progress stroke atau stroke yang telah ditempuh piston dari TMB sampai sebelum TMA sesuai dengan berapa derajat sebelum TMA busi memercikkan api. Alpha (α) adalah derajat sebelum TMA di mana busi memercikkan api. Nah berdasarkan ilustrasi di atas area timing pengapian dapat kita gambarkan menjadi segitiga siku-siku dan kita cari (X) dengan prinsip trigonometri untuk perhitungan sisa stroke nantinya. 
 

Selanjutnya kita melakukan perhitungan durasi pengapian pada mesin sebagai parameter penentuan mapping timing pengapian, perhitungan dapat dilihat pada data di atas. Untuk rpm dipilih 7500 karena di rpm tersebut merupakan puncak tenaga di spesifikasi tuning BRT yang pastinya nanti rekan-rekan sekalian akan diberikan setiap kali membeli CDI I-max dan 36 derajat dipilih berdasarkan mapping rekomendasi dari BRT. Di sini didapat piston speed secara mean atau rerata karena masih kesulitan untuk menhitung actual kecepatan piston saat di stroke tersebut maka saya memutuskan untuk memakai rerata piston speed-nya. 
 

Dari perhitungan didapat durasi pengapian rerata di rpm 7500 dengan timing 36 derajat sebelum TMA adalah 0.0004sec. Angka ini akan digunakan sebagai inisiasi untuk penghitungan mapping ignition timing. 
 

Dengan bantuan software Microsoft Excel, saya membuat tabel seperti di atas. Kolom rpm dibuat berdasarkan pada perhitungan increment rpm yang sudah dilakukan sebelumnya. Tabel piston speed adalah perhitungan kecepatan rerata piston pada rpm sesuai step. Sisa stroke atau (s) sesuai dengan rumus t=s/PS maka dapat dijadikan s=txPS, t adalah referensi durasi pengapian yang telah dihitung baru saja. Progress stroke dihtung berdasarkan sisa stroke pada step terkait. Parameter X dihitung menggunakan logic yang sudah ditentukan sebelumnya dengan data pada step terkait. Seperti halnya parameter X, cos-1 alpha juga dihitung dengan menggunakan metode yang sama untuk memperoleh derajat hasil perhitungan lalu dibulatkan pada kolom alpha rounded. Sebelum menentukan alpha fix tentukan terlebih dahulu kolom BRT limit atau limit derajat paling advance yang digunakan oleh BRT pada tabel rekomendasi timing pengapian. untuk Jupiter-Z diketahui di angka 35~36 derajat. Saya memilih limit di 35 derajat agar masih masuk range rekomendasi dan masih mempunyai batas aman. Nah, jika perhitungan timing menghasilkan angka di atas 35 derajat maka kolom alpha fix akan langsung set di angka 35 derajat atau sesuai dengan batas yang telah ditentukan. 
 

Tabel di atas adalah hasil perhitungan mapping dengan referensi durasi rerata pembakaran/pengapian 0.0004sec. dari tabel tersebut kita bisa lihat timing 30 derajat baru mencapai rpm 5100, nah nanti ketika rekan-rekan sekalian membeli CDI ini maka akan diberi 2 referensi pengapian yang bisa diambil rata-rata pada rpm 3000 timing untuk group general yang mana masih relevan untuk mesin dan pemakaian harian itu timing pengapianya di angka 30 derajat sebelum TMA. Untuk memenuhi pendekatan tersebut maka durasi pembakaran pada excel kita naikkan secara manual per 0.0001sec sampai mendapatkan target di rpm 3000 timing pengapianya 30 derajat sebelum TMA.


Di durasi 0.006sec sebenarnya sudah bisa memenuhi target tapi saya naikkan 0.0001 sec lagi agar aman, alhasil di rpm 3100 (yang paling mendekati sesuai perhitungan increment step rpm) pengapianya 31 derajat sebelum TMA. Oh iya saya lupa menjelaskan timing untuk rpm di bawah 2100 pada CDI BRT I-max 24 step; BRT men-set timing pengapian di 15 derajat sebelum TMA untuk rpm di bawah 2100.

Nah kira kira seperti ini bentuk kurva pengapian yang akan saya program ke CDI I-max. Tidak naik turun seperti pada kurva-kurva mesin kompetisi tapi harapanya adalah mendapatkan performa yang optimal karena sudah melalui proses penghitungan teoritis dengan beberapa metode pendekatan, penerapan batasan-batasan dan komparasi dengan data refernsi pabrikan.

Harapan ke depan mungkin bisa improve metode penentuan timing pengapian dengan menggunakan alat ukur yang lebih presisi semisal dynojet hehe. Tapi thank you banget buat semua yang sudah mampir semoga bermanfaat bagi rekan-rekan semua. Kita akan lanjut ke part-2 yaitu pemasangan dan pemrograman kurva pengapian ke motor. Keep safety riding dan jaga kesehatan, see you.

Regards,

 

Gigih

No comments:

Post a Comment