Ketika
part-2 ini dibuat, Desember 2024, kita sudah memasuki musim hujan guys. Perubahan
cuaca yang ekstrim di sebagian besar wilayah Indonesia, dari udara panas
menyengat di siang hari maupun gerah di malam hari menjadi angina kencang dan
hujan lebat di November dan Desember ini. Tambahkan kewaspadaan saat berkendara
saat cuaca hujan, tambahkan item
resiko seperti; jalan licin, pohon tumbang atau banjir dan genangan air yang
dapat merusak mesin ataupun menutup gorong-gorong, lubang jalan hingga sungai.
Dan…
yes… saya jatuh sakit hahaha, walau sekedar flu tapi kadang cukup mengganggu
aktivitas kita sehari-hari ya kan? Untungnya project sudah selesai jadi saya hanya perlu melakukan “summary” pada artikel ini yang mana ini
juga bisa menjadi “obat” buat saya, writing
and automotive… dua hal yang menjadi pelepas stress saya.
Nah, seperti yang terakhir kita
bahas terakhir di part-1; https://9-engineering.blogspot.com/2025/01/project-bike-yamaha-jupiter-z-2004-bore.html
Setelah
kita lepas pistonya, inilah penampakanya dibandingkan dengan piston yang baru.
Kiri; merupakan tampilan piston yang lama, berukuran 52mm, dome standard dengan pemakaian 1 tahun atau sekitar 17.000
kilometer lebih, nah ini permukaan area bakarnya kotor dan berkerak karena
berbagai hal; selain pemakaian dan karburator 24mm yang mana setting-an bensin
menjadi lebih kaya, juga karena saya open
filter atau tidak memasang filter, sehingga kotoran dari luar lebih mudah
masuk ke ruang bakar, apalagi karburator sudah mengarah keluar ke samping guys
hehe. Sebelah kanan adalah penampakan piston yang baru, berukuran 54mm, dome jenong dengan sedikit custom coakan klep sedikit diperdalam
dan potong buntut piston agar tidak terkena kruk-as,
jelas piston masih terlihat sangat bersih dikarenakan belum dipakai.
Lalu
untuk silinder sendiri, saya tidak menggunakan produk aftermarket melainkan bahan spare
part standard saya bubut korter
untuk spesifikasi bore up 54mm. Di sini yang perlu dicermati dalam melakukan korter adalah selisih antara diameter
piston dan silinder. Untuk harian saya menggunakan setting selisih diameter
antara 0.02 ~ 0.05mm, saya mengarahkan tukang bubut untuk mengerjakan dengan
selisih rata-rata di 0.03mm.
Pengukuran
piston dilakukan dengan menggunakan micrometer
dan silinder dilakukan dengan menggunakan cylinder
bore gauge, untuk penggunaan akan semoga kita bisa bahas di artikel
terpisah ya guys. Di atas adalah posisi pengukuran dan hasilnya, yang menjadi
catatan adalah; sangat wajar bila piston berbentuk taper dari atas ke bawah dan hasil korter silinder harus tidak oval
dan parallel dari atas hingga bawah.
Lalu
kita hitung selisih diameternya dengan cara hasil pengukuran diameter silinder
(b) dikurangi hasil pengukuran diameter piston (a) maka didapat selisih
diameter (c), untuk mengkonversi menjadi gap
atau celah piston dengan silinder maka selisih diameter (c) dibagi dua, di sini
dihasilkan gap dengan silinder paling
besar adalah 0.115mm per sisi pada bagian atas piston dan 0.005mm pada bagian
bawah piston. Hal ini masih oke ya guys, karena saya tes dorong piston (tanpa
pasang ring, tapi sudah diberi oli tipis pada dinding silinder) di silinder
tidak menunjukkan tanda seret atau
terkunci pada area tertentu, lain halnya bila ada seret atau terkunci, mungkin
aktivitas finishing lanjutan akan
saya lakukan seperti contoh tambahan polishing. Juga tidak lupa cek dan setting celah ring piston 1 dan 2 di
angka 0.1mm ±0.02mm.
Untuk
camshaft atau noken as saya menggunakan merk BRT tipe T1 Street Performance yang cocok untuk mesin bore up harian-touring
dan dipadukan dengan per klep progressive
dari BRT juga.
Sedangkan
untuk bearing saya menggunakan merk
NTN dengan nomor 6002 dan 6003, merk ini merupakan salah satu merk terpercaya
untuk bearing pabrikan Jepang,
harganya lebih terjangkau daripada standar pabrikan dan cukup mudah dicari di
pasaran.
Camshaft
BRT
ini sudah sepaket dengan roller rocker
arm dan tidak disarankan ditukar-tukar dengan roller rocker arm lain ataupun rocker
arm std motor, ini dikarenakan profile
pada noken as-nya sudah dirancang dan
disesuaikan dengan karakter roller rocker
arm-nya dan jarak ungkit dari as rocker
arm ke batang klep juga sudah
disesuaikan. Sebenarnya camshaft lama
dari Kawahara tipe K1 dan rocker arm
standar masih bisa digunakan, namun karena camshaft
ini lebih cocok untuk spesifikasi mesin standar-harian, maka saya trial untuk upgrade spec ke bore up
harian-touring yang mana BRT juga
sudah melengkapi camshaft ini dengan roller rocker arm yang dapat
meminimalisir gesekan lebih baik sehingga memudahkan untuk meraih rpm yang
tinggi dan mengurangi noise mesin.
Semoga nanti bisa punya dial cam, cfm
measurement machine dan dynotester ya guys agar dapat kita ukur dan
pemaparan perubahanya dapat dilakukan dengan lebih seksama.
Melengkapi
setting-an camshaft di atas, saya juga memasangkan per klep progressive BRT
untuk Yamaha Jupiter-Z, disebut progressive
karena per ini memiliki lebih dari satu konstanta
pegas yang memungkinkan lebih bisa beradaptasi dengan setting-an dan karakter mesih dari masing-masing tuner ataupun mekanik, terlebih per ini
juga masih cocok dikombinasikan dengan klep
standar atau bawaan motor serta pemakaian paket camshaft BRT yang mana sudah diuji dan diperitungkan oleh pabrikan
BRT. Hal ini menanggapi tujuan saya untuk mengganti per standar yang mungkin
saja sudah lemah karena pemakaian saya yang terbilang lebih ekstrim sehari-hari
dan sudah lebih dari 140.000km yang mana resiko untuk floating di rpm tinggi karena per lemah bisa saja terjadi. Walaupun
saya men-setting limiter pada CDI BRT di angka 11.000rpm yang mana belum terlampau
ekstrim untuk mesin (artikel; https://9-engineering.blogspot.com/2020/12/project-bike-jupiter-z-2004-brt-i-max.html)
namun kebiasaan saya untuk membejek
power motor lebih dari rata-rata pengendara kebanyakan dikhawatirkan floating ini dapat terjadi bila masih
menggunakan per klep standar-nya. Oh
iya, dalam pemasangan per progressive
yang perlu diperhatikan adalah pastikan posisi per yang celahnya lebih rapat
mengadap ke bawah atau TMB (Titik Mati
Bawah) untuk menghindari malfungsi per ataupun kinerja mesin karena
kesalahan pemasangan.
Tanpa
diukur dengan menggunakan dial pada piston kira-kira begini posisi piston saat berada di TMA atau Titik Mati Atas; masih terdapat sisa pada
bibir piston dan dome piston saya ukur masih aman untuk di-akomodir pada ruang squish atau dome pada head cylinder
dengan perkiraan kompresi 11.3 ~ 11.5:1 yang mana masih dapat mengkonsumsi
bensin RON 92 atau setara dengan Pertamax.
Setelah
mesin terpasang sempurna tidak lupa kita mengisi oli mesin sebelum melakukan
cek dry cycle atau menggerakkan mesin
tanpa pengapian dengan cara di-selah
pada kick starternya beberapa kali
atau menyalakan mesin. Oli yang saya gunakan adalah Evalube Pro Synthetic SAE
10W-30 API SL/JASO MA2, oli ini dapat ditemukan dengan mudah di sekitar tempat
saya tinggal dan ori ya guys hehe, maklum sekarang sedang marak oli palsu dari
berbagai brand. Oli ini harganya cukup bersaing namun sudah mendapatkan
spesifikasi oli untuk motor sport
dengan API Service grade yang cukup
tinggi yaitu SL.
Sampai
dengan artikel ini dibuat kira-kira mesin dengan spesifikasi ini sudah menempuh
jarak 4.000km dan hasilnya cukup memuaskan; tenaga lebih mengisi dengan tarikan
menuju ke 100km/h menjadi lebih mudah, yang mana knalpot yang saya gunakan masih standar, maklum karena motor ini
digunakan untuk harian dan area tempat saya tinggal polisinya cukup ketat dalam
menindak penggunaan knalpot non standar
hehe. Hasil ini juga didukung oleh pemasangan part lain yang di masa sebelumnya sudah saya pasang, seperti karburator PE24, CDI BRT I-Max 24 Step
dan Coil GC BRT. Walau begitu bore up
spesifikasi ini rasanya masih cocok digunakan untuk komponen lain dengan
standar pabrikan tentunya minimum dibarengi dengan setting “angin-angin” karburator.
Akhir
kata, semoga artikel kali ini bermanfaat ya guys dan terima kasih banyak yang
sudah mampir. Sampai jumpa lagi, ciao!
No comments:
Post a Comment